BATAM, RELASIPUBLIK – Adanya SP3 (surat Perintah Penghentian Penyidikan) yang diterbitkan oleh Kejati Sumbar terkait dalam penanganan kasus dugaan tindak pidana korupsi dana relokasi pembangunan RSUD Dr M Zein terbilang sangat ganjil dan aneh.
“Mestinya setiap proses hukum yang sudah ditingkatkan statusnya dari penyelidikan ke tingkat penyidikan, tidak ada istilah mundur bagi aparat penegak hukum untuk melanjutkan proses hukum ketahap berikutnya, ” demikian Dedy Suryadi, SH., seorang praktisi hukum dan Sekretaris DPD MAHUPIKI KEPRI di Batam, ketika dimintakan komentar terkait dengan dikeluarkannya SP3 oleh Kejati Sumbar terhadap kasus dugaan korupsi dana relokasi pembangunan RSUD Dr M Zein Painan.
Menurut Dedy Suryadi, ketika sebuah perkara pidana sudah dikeluarkan SPDP (Surat Perintah Dimulai Penyidikan) dan bahkan sudah dipublish di media, itu menandakan penyidik telah yakin dan menemukan 2 alat bukti dalam peristiwa hukum tersebut. Tinggal menambah bukti pendukung untuk menetapkan siapa tersangkanya.
Seharusnya penyidik menindaklanjuti ketahap proses penegakan hukum untuk menentukan tersangkanya dan membawanya ke persidangan.
Sepanjang pengetahuan masyarakat, perkara dugaan tindak pidana korupsi pembangunan RSUD dr M Zein Painan sudah lama diproses lidik dan sidik, kemudian tiba-tiba masyarakat mendapat kabar SP3 sudah diterbitkan Kejati Sumbar. Ini terjadi disaat pejabat Kajatinya akan mengakhiri masa dinas karena memasuki masa pensiun.
“Tentu saja ini akan memunculkan rumor dikalangan masyarakat. Ada apa ini?” tambah Dedy.
TAK MASALAH CARI PEMBANDING, TAPI….
Terkait dengan adanya ahli pembanding, menurut Dedy, beberapa waktu terakhir ini memang ada pergeseran persepsi penegak hukum dalam memproses hukum perkara tindak pidana korupsi. Dimana penyidik tidak hanya menyandarkan penyelidikannya pada temuan BPK/BPKP saja, tapi juga harus menyandingkan dengan pendapat ahli dari luar instusi tersebut. Karena persepsi BPK/BPKP dalam menilai dan menghitung kerugian negara sering juga tidak tepat secara hukum terutama menyangkut nilai objek dan atau barang yang menimbulkan kerugian tersebut. Akibat kesalahan dalam menghitung kerugian negara, maka pada akhirnya ada terdakwa perkara dugaan tindak pidana korupsi mendapatkan putusan bebas murni di pengadilan.
Tapi pendapat ahli dalam hal teknik konstruksi seharusnya tidak berbeda dalam memberikan penilaian. Karena ilmu teknik merupakan ilmu pasti dan tidak logis dalam melakukan penilaian teknis untuk satu objek yang sama menghasilkan dua atau lebih pendapat berbeda.
“Dalam ilmu eksakta itu 2 + 2 = 4 . Tidak akan pernah hasilnya menjadi 5 atau 8…,” Tambah Dedy.
Terkait pendapat ahli dari luar, seharusnya penyidik gunakan pada saat masih dalam penyelidikan, agar tidak salah menaikan ketahap penyidikan dan tidak melakukan ekspose ke media,”kata Dedy Suryadi, SH. Justru ini dilakukan saat sudah naik ke penyidikan, harusnya dibuktikan dalam persidangan akan kebenaran dugaan tindak pidana korupsi terjadi atau tidak dalam pembangunan RSUD dr M Zein Painan tersebut. Wallahualam (*)
Seharusnya penyidik menindaklanjuti ketahap proses penegakan hukum untuk menentukan tersangkanya dan membawanya ke persidangan.
Sepanjang pengetahuan masyarakat, perkara dugaan tindak pidana korupsi pembangunan RSUD dr M Zein Painan sudah lama diproses lidik dan sidik, kemudian tiba-tiba masyarakat mendapat kabar SP3 sudah diterbitkan Kejati Sumbar. Ini terjadi disaat pejabat Kajatinya akan mengakhiri masa dinas karena memasuki masa pensiun.
“Tentu saja ini akan memunculkan rumor dikalangan masyarakat. Ada apa ini?” tambah Dedy.
TAK MASALAH CARI PEMBANDING, TAPI….
Terkait dengan adanya ahli pembanding, menurut Dedy, beberapa waktu terakhir ini memang ada pergeseran persepsi penegak hukum dalam memproses hukum perkara tindak pidana korupsi. Dimana penyidik tidak hanya menyandarkan penyelidikannya pada temuan BPK/BPKP saja, tapi juga harus menyandingkan dengan pendapat ahli dari luar instusi tersebut. Karena persepsi BPK/BPKP dalam menilai dan menghitung kerugian negara sering juga tidak tepat secara hukum terutama menyangkut nilai objek dan atau barang yang menimbulkan kerugian tersebut. Akibat kesalahan dalam menghitung kerugian negara, maka pada akhirnya ada terdakwa perkara dugaan tindak pidana korupsi mendapatkan putusan bebas murni di pengadilan.
Tapi pendapat ahli dalam hal teknik konstruksi seharusnya tidak berbeda dalam memberikan penilaian. Karena ilmu teknik merupakan ilmu pasti dan tidak logis dalam melakukan penilaian teknis untuk satu objek yang sama menghasilkan dua atau lebih pendapat berbeda.
“Dalam ilmu eksakta itu 2 + 2 = 4 . Tidak akan pernah hasilnya menjadi 5 atau 8…,” Tambah Dedy.
Terkait pendapat ahli dari luar, seharusnya penyidik gunakan pada saat masih dalam penyelidikan, agar tidak salah menaikan ketahap penyidikan dan tidak melakukan ekspose ke media,”kata Dedy Suryadi, SH. Justru ini dilakukan saat sudah naik ke penyidikan, harusnya dibuktikan dalam persidangan akan kebenaran dugaan tindak pidana korupsi terjadi atau tidak dalam pembangunan RSUD dr M Zein Painan tersebut. Wallahualam (*)